Hidup dunia bukan untuk kesia-siaan. Ada tujuan yang sangat agung dan mulia di balik terciptanya kita di alam dunia. Allah ciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Allah ciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia; siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya. Allah tidak tinggalkan manusia dalam keadaan sia-sia; tanpa perintah dan larangan.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, telah berlalu hari-hari yang kita jalani di alam dunia ini dalam keadaan Allah curahkan kepada kita nikmat-Nya. Allah limpahkan kepada kita karunia dan keutamaan-Nya. Allah pun telah mengutus kepada kita seorang rasul yang membacakan kepada umatnya ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Qur’an dan as-Sunnah. Padahal sebelumnya mereka hidup dalam kesesatan yang amat nyata.
Berjalannya waktu dan tersiramnya kenikmatan lahir dan batin kepada diri kita merupakan perkara yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena sesungguhnya Allah berikan kepada kita pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya adalah dalam rangka mensyukuri nikmat-nikmat Allah itu. Apabila lenyap syukur dan ketaatan maka nikmat justru akan berubah menjadi petaka dan bencana. Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah berkata, “Setiap kenikmatan yang tidak semakin menambah kedekatan kepada Allah ‘azza wa jalla maka pada hakikatnya hal itu adalah bencana.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyah al-Auliya’, hal. 888)
Syukur adalah mengakui di dalam hati bahwa segala nikmat ini datangnya dari Allah, kemudian kita memuji dan menyandarkan nikmat itu kepada Allah atas nikmat-Nya yang tak terhitung dan tak terhingga, dan kita gunakan nikmat-nikmat itu di atas jalan yang diridhai-Nya. Pokok daripada syukur itu adalah dengan mentauhidkan Allah ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian. Mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)
Betapa banyak manusia yang lalai dari perintah yang agung ini. Mereka hidup seperti binatang. Tidak peduli halal dan haram. Tidak peduli iman dan kekafiran. Yang penting bagi mereka adalah memuaskan hawa nafsu dan mengumbar ambisi dan mengejar materi. Mereka memiliki mata tetapi tidak dipakai untuk melihat kebenaran. Mereka memiliki telinga tetapi tidak mau mendengarkan petunjuk dan bimbingan. Mereka memiliki hati tetapi tidak mau memahami ayat-ayat-Nya. Mereka tidak mengenal ma’rifat dan tauhid kepada Rabbnya; padahal kenikmatan dari Allah selalu tercurah kepada mereka siang dan malam dimana pun mereka berada karena sesungguhnya Allah lah Rabb yang telah menciptakan dan memelihara alam semesta ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta, niscaya dia akan mencari lagi lembah yang ketiga. Dan tidak akan memenuhi rongga perut anak Adam kecuali tanah/kuburan. Dan Allah berkenan untuk menerima taubat bagi siapa saja yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari no. 5986 dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma)
Ibadah kepada Allah adalah melakukan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah. Ibadah mencakup amalan hati, amalan badan, dan ucapan lisan. Apapun yang dicintai dan diridhai oleh Allah itu adalah ibadah. Dengan kata lain, ibadah itu adalah melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ibadah meliputi perbuatan melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman (lihat Syarh al-‘Ubudiyah, hal. 6 oleh Syaikh ar-Rajihi)
Dengan demikian ibadah tidak bisa ditegakkan tanpa ilmu. Sebab seorang hamba tidak akan mengetahui apakah suatu perkara dicintai atau dibenci oleh Allah kecuali dengan ilmu. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah mengatakan, “Dengan ilmu itulah akan dikenali tauhid dan iman, dengan ilmu pula akan dimengerti pokok-pokok keimanan dan syari’at-syari’at Islam, dengan ilmu juga akan diketahui akhlak-akhlak yang luhur dan adab-adab yang sempurna, dan dengan ilmu itu pula manusia terbedakan satu dengan yang lainnya…” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 42)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibadah mencakup melakukan segala hal yang diperintahkan Allah dan meninggalkan segala hal yang dilarang Allah. Sebab jika seseorang tidak memiliki sifat seperti itu berarti dia bukanlah seorang ‘abid/hamba. Seandainya seorang tidak melakukan apa yang diperintahkan, maka orang itu bukanlah hamba yang sejati. Seandainya seorang tidak meninggalkan apa yang dilarang, maka orang itu juga bukan hamba yang sejati. Seorang hamba -yang sejati- adalah yang menyesuaikan dirinya dengan apa yang dikehendaki Allah secara syar’i.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz ‘Amma, hal. 15)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat. Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)